BALIKPAPAN – Aktivitas bongkar muat batu bara di kawasan pesisir Balikpapan menuai sorotan dari komunitas nelayan setempat. Di Kelurahan Manggar Baru, para nelayan mengeluhkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang diduga kuat sebagai dampak dari pencemaran laut akibat aktivitas industri tersebut.
Ketua Gabungan Nelayan Balikpapan (Ganeba), Fadlan, menyatakan bahwa limbah batu bara kerap ditemukan mencemari perairan sekitar, bahkan merusak alat tangkap nelayan. Kondisi ini membuat hasil tangkapan seperti udang dan ikan tidak lagi layak jual.
“Nelayan menemukan material batu bara di jaring dan perangkap. Ini mencemari hasil tangkapan dan menyebabkan penurunan harga di pasar,” ucap Fadlan, Minggu (3/8/2025).
Selain masalah lingkungan, para nelayan juga menghadapi keterbatasan ruang gerak akibat penetapan zonasi laut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Wilayah yang dahulu menjadi tempat nelayan mencari ikan kini berubah fungsi menjadi kawasan pelabuhan, menyisakan ruang yang sempit untuk aktivitas melaut.
“Dulu laut terbuka luas untuk nelayan. Sekarang kami hanya punya sedikit ruang. Jumlah ikan pun tak sebanyak dulu karena terlalu padat,” ujarnya.
Terkait hal ini, Ganeba bersama sejumlah kelompok nelayan telah mengambil langkah hukum dengan menggugat keputusan pemerintah pusat ke PTUN Jakarta pada penghujung 2024. Mereka menolak rencana penambahan zona bongkar muat batu bara yang mengancam wilayah tangkap.
“Syukurlah gugatan kami dikabulkan. Itu memperlihatkan bahwa ada ketidakadilan dalam kebijakan tersebut,” tegas Fadlan.
Ia mendesak pemerintah agar tidak lagi memberikan izin bagi aktivitas bongkar muat batu bara di zona tangkap nelayan. Menurutnya, kelangsungan hidup komunitas pesisir tidak boleh dikorbankan demi kepentingan bisnis.
“Laut ini sumber hidup kami. Kalau terus dicemari dan dibatasi, bagaimana kami bisa bertahan?” pungkasnya.